Senandung Ibu Pertiwi Membuat Saya Bangga Jadi Orang Indonesia

Jakarta, 16 Agustus 2017 – Senandung Ibu Pertiwi membuat saya bangga jadi orang Indonesia. Apa sebenarnya “Senandung Ibu Pertiwi” dan kenapa hal itu bisa membuat saya semakin bangga menjadi orang Indonesia?

Senandung Ibu Pertiwi merupakan tema pameran lukisan koleksi Istana Kepresidenan Republik Indonesia. Pameran ini diselenggarakan atas kerja sama Kementerian Sekretariat Negara di Galeri Nasional, Jalan Medan Merdeka Timur, dan berlangsung mulai 2 – 30 Agustus 2017. Kalau kamu ingin berkunjung ke sini, bisa banget, lho, karena pameran ini terbuka untuk umum dan gratis, serta bisa dikunjungi sejak pukul 10.00 wib hingga pukul 20.00 wib. Khusus untuk pengunjung yang datang pada weekend (hari Sabtu dan Minggu), ada Tur Galeri yang dimulai sekitar pukul 10 pagi.

Pada 9 Agustus 2017 lalu, saya beruntung bisa berkunjung ke Pameran Lukisan Senandung Ibu Pertiwi ini bersama beberapa teman blogger dan vlogger atas undangan Jadi Mandiri, organisasi independen yang fokus pada pengembangan pribadi generasi muda agar menjadi lebih mandiri. Saat tiba di Galeri Nasional, seluruh peserta (blogger dan vlogger) berkumpul di kantin Galnas untuk mengikuti arahan yang diberikan oleh tim digital media dari Jadi Mandiri. Setelahnya, kami menuju ke tempat penitipan barang bawaan dan mendapatkan stempel tanda masuk dari petugas.

Koleksi Lukisan Istana yang Istimewa

Saya dan teman-teman blogger serta vlogger kemudian diizinkan masuk ke gedung pameran dengan didampingi seorang pemandu. Area pameran ternyata dibagi menjadi empat bagian dengan temanya sendiri-sendiri. Kebanyakan lukisan yang dipamerkan di sini merupakan lukisan koleksi Ir. Sukarno, Presiden Pertama Indonesia, yang memang merupakan pecinta seni. Beliau sangat rajin mengumpulkan berbagai karya lukis yang bernilai seni tinggi, bahkan dibeberapa kesempatan, beliau mengundang pelukisnya untuk melukis di Istana Kepresidenan.

Pengunjung di Pameran Lukisan Senandung Ibu Pertiwi
Pengunjung di Pameran Lukisan Senandung Ibu Pertiwi. Foto: dokpri

Pameran lukisan Senandung Ibu Pertiwi ini terbagi menjadi empat area ruang pameran, yaitu:

  1. Keragaman Alam dengan tema lukisan adalah pemandangan alam. Lukisan yang berada di area ini merupakan koleksi lukisan Istana Kepresidenan di Bogor, Jakarta, Cipanas, Bali, dan Yogyakarta.
  2. Aktivitas Sehari-hari. Koleksi lukisan di area ini fokus pada kegiatan sehari-hari yang kebanyakan dilakukan petani dan nelayan.
  3. Tradisi Tari dan Kebaya. Di bagian ini ada 15 lukisan yang menggambarkan tari tradisional di Indonesia beserta lukisan perempuan-perempuan yang mengenakan kebaya.
  4. Mitologi dan Religi. Di area ini, koleksi lukisannya menggambarkan mitologi dan religi yang berkembang dalam masyarakat Indonesia.

Keragaman Alam Bertema Pemandangan Alam

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, area pertama saat saya memasuki gedung pameran berisi lukisan-lukisan pemandangan alam. Kebanyakan lukisan di area ini merupakan koleksi Presiden Sukarno dan biasanya tersimpan di Istana Kepresidenan Republik Indonesia, seperti di Istana Negara Jakarta, Istana Merdeka Jakarta, Istana Bogor, Istana Cipanas, Istana Tampaksiring, Bali, dan Istana Gedung Agung di Yogyakarta. Koleksi lukisan di sini bisa dikategorikan sebagai Mooi Indie atau Hindia Molek. Istilah Mooi Indie pertama kali muncul sebagai judul portofolio yang mengandung reproduksi cat air oleh seniman Du Chattel, yang diterbitkan di Amsterdam tahun 1913. Inilah ini kemudian digunakan untuk merujuk pada pemandangan indah dan romantik yang menggambarkan Hindia Belanda.

Dari keterangan yang tertulis di dinding disebutkan bahwa bagi Presiden Sukarno, lukisan-lukisan pemandangan alam tidak hanya semata-mata menggambarkan keindahan alam Indonesia saja, melainkan merepresentasikan secara visual kekayaan alam yang ada di Indonesia serta budaya masyarakat di masing-masing daerah. Melalui lukisan-lukisan pemandangan alam ini pula, Presiden Sukarno membayangkan visinya mengenai Negara Kesatuan Republik Indonesia dan gagasan mengenai visinya ini telah beliau sampaikan pada pidatonya di depan sidang Anggota Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai), 1 Juni 1945.

“Maka manakah yang dinamakan tanah tumpah darah kita, tanah air kita? Menurut geopolitik maka Indonesialah tanah air kita. Indonesia yang bulat, bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, atau bukan Borneo saja, atau Selebes saja, atau Ambon saja, atau Maluku saja, tetapi segenap kepualauan yang ditunjuk oleh Allah menjadi suatu kesatuan antara dua benua dan dua samudera, itulah tanah air kita!”

Soekarno.

Beberapa koleksi lukisan bertema Pemandangan Alam, seperti lukisan karya Abdullah Suriosubroto yang berjudul Pemandangan di Sekitar Gunung Merapi. Lukisan ini dibuat pada 1930. Coba perhatikan lukisannya, sepertinya lukisan ini menjadi model yang banyak ditiru anak sekolah dasar saat diminta menggambar pemandangan alam.

Pemandangan Sekitar Gunung Merapi.
Pemandangan Sekitar Gunung Merapi. Foto: dokpri
Harimau Minum
Harimau Minum. Foto: dokpri

Lukisan selanjutnya karya Raden Saleh yang diberi judul Harimau Minum. Lukisan ini dibuat sekitar tahun 1963. Tampilan suasana dalam lukisan ini cenderung membawa saya pada suasana mistis. Pemandu yang memberi keterangan berkaitan dengan lukisan-lukisan yang saya dan teman-teman blogger serta vlogger nikmati mengatakan bahwa Raden Saleh lama menetap di Eropa, tepatnya di Perancis, dan karya-karya beliau terinspirasi dari karya pelukis besar dunia seperti pelukis Eugene Delacroix, Theodore, dan sebagainya.

Pantai Flores
Pantai Flores. Foto: dokpri

Lukisan ketiga yang menarik perhatian saya berjudul Pantai Flores karya Basoeki Abdullah yang dilukis sekitar tahun 1942. Ada sedikit cerita menarik berkaitan dengan latar belakang lukisan Pantai Flores ini. Ternyata Basoeki Abdullah belum pernah berkunjung ke Flores ketika melukis lukisan tersebut. Ia melukiskannya berdasarkan kisah Bung Karno saja yang pernah diasingkan dan tinggal cukup lama di pulau itu.

Area Lukisan Bertema Aktivitas Sehari-hari

Lukisan-lukisan yang berada di area ini kebanyakan menggambarkan kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia sekitar tahun 1950-an. Seniman Basuki Resobowo, berdasarkan keterangan yang tertulis di salah satu dinding, mengatakan bahwa keindonesiaan tidak harus muncul dalam penggambaran seni-seni lama (seperti arca dan candi), namun lebih pada alam pikiran dan masalah-masalah sosial suatu masyarakat.

Contoh lukisan yang menarik minat saya adalah lukisan berjudul Tari Redjang karya Theo Meier. Entah kenapa, setiap memandangi lukisan ini saya seakan bisa melihat para penari di dalam lukisan itu menari dengan perasaan bangga karena mereka terlahir sebagai Bangsa Indonesia. Selain lukisan karya Theo Meier tadi, ada pula lukisan karya Itji Tarmizi yang berjudul Lelang Ikan. Karya Tino Sidin berjudul Ketjintaan. Lalu ada pula lukisan berjudul Penjual Ayam karya Ries Mulder. Terlihat di sini ada beberapa pelukis luar yang menggambarkan kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Mereka sepertinya tertarik dengan kebudayaan Indonesia yang beragam karena pengalaman setelah tinggal cukup lama di Indonesia. Jika pelukis luar saja begitu bangga menghasilkan karya yang mencitrakan Indonesia dengan begitu istimewa, masa kita yang terlahir di tanah air tercinta ini tidak bangga? Bagi saya pribadi, pameran lukisan bertema Senandung Ibu Pertiwi membuat saya bangga jadi orang Indonesia.

Tradisi Tari dan Kebaya di Area Ketiga

Selanjutnya, saya memasuki area ketiga yang bertema tradisi tari dan kebaya. Di area ini banyak melukiskan berbagai tarian daerah khas Indonesia serta lukisan-lukisan perempuan mengenakan kebaya. Dari cerita yang tertulis sebagai keterangan area ketiga ini ternyata pada 1827, pemerintah kolonial Belanda menetapkan penduduk harus berpakaian sesuai dengan latar belakang etnisnya demi memudahkan identifikasi golongan sosial masing-masing orang. Aturan ini dibuat untuk menegaskan batasan-batasan kelas sosial yang terjadi dalam masyarakat selama pemerintahan kolonial Belanda. Anehnya, khusus untuk kebaya boleh dikenakan oleh perempuan dari etnis manapun, seperti etnis pribumi, tionghoa, dan Belanda. Ini sungguh unik dan salam sekali tak disangka, apalagi kebaya banyak digunakan sebagai pakaian sehari-hari pada masa itu dan dinilai sebagai pakaian paling nyaman saat tinggal di negara beriklim tropis seperti Indonesia.

Pada akhirnya, sekitar tahun 1940-an, laki-laki pribumi kebanyakan mengenakan peci hitam, sementara perempuannya mengenakan kebaya. Kebaya tidak lagi hanya menjadi pakaian sehari-hari, namun secara resmi menjadi pakaian yang menggambarkan identitas perempuan Indonesia. Dan dari lukisan-lukisan di area ini pula saya bisa melihat betapa para pelukisnya mengagungkan kecantikan perempuan-perempuan Indonesia. Saya perempuan yang lahir di Indonesia. Saya bangsa Indonesia. Jadi, saya cantik juga dong… hahaha.

Lukisan Bertema Mitologi dan Religi yang Memukau

Dalam seni rupa lama Indonesia, seni tidak selalu dikaitkan dengan realitas, namun juga dengan religi. Era 1950 hingga 1960, ada banyak seniman, dalam hal ini pelukis, yang merepresentasikan penghayatan dan keyakinan mereka dalam bentuk lukisan.

Ada satu lukisan yang begitu indah dan membuat saya terpukau cukup lama di area ini. Lukisan itu berjudul Gatotkaca dengan Anak-anak Arjuna: Pergiwa dan Pergiwati karya Basoeki Abdullah. Ide lukisan ini diambil dari kisah pewayangan dan mitos khususnya yang berasal dari pulau Jawa. Awal terciptanya lukisan ini karena Presiden RI pertama, Sukarno, memesan secara khusus lukisan dengan tema dari kisah pewayangan yang nantinya akan ditempatkan di Istana Negara. Akhirnya, Basoeki memilih kisah Gatotkaca dengan Anak-anak Arjuna: Pergiwa dan Pergiwati.

Gatotkaca dengan Anak-anak Arjuna, Pergiwa dan Pergiwati
Gatotkaca dengan Anak-anak Arjuna, Pergiwa dan Pergiwati. Foto: dokpri

Untuk diketahui, kisah Gatotkaca dengan Anak-anak Arjuna: Pergiwa dan pergiwati ini merupakan cuplikan dari kisah Mahabrata versi Jawa. Gatotkaca adalah putra Bima, sedangkan kedua perempuan di dalam lukisan adalah anak-anak Arjuna yang bernama Pergiwa dan Pergiwati. Pada akhirnya, Gatotkaca menikah dengan Pergiwa, sementara Pergiwati menikah dengan Pancawala.

Seorang Anak dan Nyai Roro Kidul
Seorang Anak dan Nyai Roro Kidul. Foto: dokpri

Oh ya, tak sengaja saya memerhatikan seorang anak laki-laki yang menatap satu lukisan yang menggambarkan Nyai Roro Kidul. Saya pun jadi ikut tertarik memerhatikan lukisan ini. Aura mistis sangat terasa dan membuat saya serta anak laki-laki itu terdiam cukup lama di depan lukisan yang luar biasa indah dan dilukis dengan sudut pandang yang berbeda dari gambaran Nyai Roro Kidul yang selama ini saya ketahui.

Dua peneliti seni, Claire Holt dan Astri Wright melihat pelukisan Nyai Roro Kidul karya Basoeki Abdullah ini dibuat sangat unik dan citra Nyai Roro Kidul tampak modern: mengenakan gaun malam terbuat dari sutra dengan bagian dada terbuka, serta ada kalung mutiara menghiasi lehernya, sehingga ia tampak seperti model papan atas dunia. Meski tampak mistis, lukisan ini malah menunjukkan gambaran seorang perempuan yang memiliki kepribadian yang begitu kuar dan memesona.

Ruang Pamer Dokumen

Selain empat area berisi koleksi berbagai lukisan tadi, ada satu ruangan yang menyimpan dokumen-dokumen penting kenegaraan serta buku-buku mengenai sejarah bangsa Indonesia. Di salah satu dinding di ruangan ini juga ada perjalanan sejarah masing-masing presiden yang pernah dan masih menjabat di Indonesia beserta prestasi-prestasi yang mereka raih. Untuk lebih jelasnya, bisa dilihat dari galeri foto yang saya sertakan di bagian bawah ulasan saya ini sehingga bisa memberi gambaran lebih jelas mengenai isi ruang pamer dokumen ini.

Ruang Pameran Senandung Ibu Pertiwi
Ruang Pameran Senandung Ibu Pertiwi. Foto: dokpri

Yuk nikmati lukisannya dan jadilah bangga sebagai orang Indonesia dengan mengunjungi Pameran Lukisan Senandung Ibu Pertiwi. 

Sedang mengikuti pelatihan prakerja untuk meningkatkan skill

About the author

Hobi saya dalam hal kepenulisan menjadikan saya ingin selalu berkarya. Menciptakan ruang blog monicaanggen.com ini bukanlah sesuatu hal yang kebetulan gais. Sit, Enjoy, and Starting Read.. ^_^

17 pemikiran pada “Senandung Ibu Pertiwi Membuat Saya Bangga Jadi Orang Indonesia”

  1. Thanks mba Monic informasinya, kesempatan edukasi begini sayang banget kalo dilewatkan. Yang harus itu ngajak keluarga terutama adek-adek yang masih sekolah.

    Balas
  2. Duh, betapa kayanya ibu pertiwi kita yaa…. Moga anak-cucu juga sangat menghargai warisan2 ini kelak..

    Balas
    • Aamiin. Semoga ya, Mbak. Dan semakin banyak pula karya-karya lukis lainnya yang menyimpan momen terbaik negeri ini biar anak cucu kita tahu apa yang terjadi di masa sekarang dan menjadikannya pelajaran untuk masa depan kelak

      Balas
  3. Bagus-bagus banget lukisannya. Terima kasih sudah menginformasikan tentang pameran tersebut, Mbak. Bangga melihat karya-karya pelukis Indonesia.

    Balas
  4. Hayoo Mbak Monica, siapatahu terinspirasi mau buat novel yang ide ceritanya dari lukisan-lukisan Senandung Ibu Pertiwi, Best Seller ….Aamiiin

    Balas
    • Aamiin. Makasi atas doanya ya. Pengen sih nulis novel beralatarbelakang sejarah. Tapi belum sanggup karena nulis yang berlatar sejarah butuh penelitian yang panjang dan perlu hati-hati juga dalam memilih referensi. Mas Ahmed, ayuk nulis novel juga, yuk.

      Balas
  5. Menikmati keindahan dan kekayaan Indonesia dalam bentuk lukisan seru juga ya…
    Apalagi sampai tgl 30 nanti masih gratis menyaksikan di Galeri Nasional.

    Balas
    • Iya benar, Mas, seru dan jadi menambah wawasan sejarah ya. Gratis lagi. Selain itu, setelah tanggal 30 kan seluruh lukisan dikembalikan ke istana kepresidenan tempat lukisan-lukisan itu tersimpan. Makanya beruntunglah kita yang sudah menikmatinya.

      Balas
    • Bener. Masuk ke pameran lukisan itu kayak masuk ke mesin waktu yang membawa kita kembali ke masa lalu. Jadi bisa belajar sejarah lagi dan jadi semakin cinta Indonesia. Ayuk mas, ke pameran lukisan, yuk

      Balas
  6. Eh, serius, Mbak? Saya kelewatan nih kayaknya pas lihat lukisan itu, nggak terlalu merhatiin banget. Yah, kayaknya saya perlu balik lagi ke sana nih buat lihat.

    Balas

Tinggalkan komentar