Banyak pebisnis online beriklan di Meta (Facebook & Instagram) atau TikTok dengan harapan penjualan meningkat drastis.
Tapi setelah campaign selesai, yang muncul malah rasa kecewa: biaya iklan membengkak, penjualan segitu-gitu aja.
Kalau Anda pernah mengalaminya, mungkin bukan iklannya yang salah—tapi cara Anda menghitung Return on Investment (ROI) yang kurang tepat.
Dalam dunia digital marketing yang makin kompleks, memahami cara menghitung ROI iklan dengan benar adalah kunci utama untuk tahu apakah strategi Anda efektif atau justru boncos.
Apa Itu ROI dalam Konteks Iklan Digital?
ROI (Return on Investment) adalah ukuran seberapa banyak keuntungan (return) yang Anda dapatkan dibandingkan dengan jumlah uang yang Anda keluarkan (investment).
Rumus sederhananya:
> ROI = (Keuntungan – Biaya Iklan) / Biaya Iklan x 100%
Contoh:
- Anda menghabiskan Rp5 juta untuk iklan TikTok
- Iklan tersebut menghasilkan penjualan sebesar Rp12 juta
- Maka ROI = (12.000.000 – 5.000.000) / 5.000.000 x 100% = 140%
Itu artinya, Anda mendapatkan pengembalian 140% dari modal iklan Anda—sudah bagus! Tapi tunggu dulu, apakah semua penjualan itu benar-benar berasal dari iklan? Inilah tantangannya.
Masalah Umum Menghitung ROI Berdasarkan Asumsi
Menurut white paper Redcomm Why Most E-commerce Budgets Fail, 83% pembelian online melibatkan lebih dari satu touchpoint, tapi banyak bisnis masih mengandalkan last-click attribution, alias hanya menghitung konversi dari klik terakhir.
Padahal, bisa saja pembeli sudah:
- Lihat iklan Anda di TikTok minggu lalu.
- Lalu follow Instagram Anda.
- Baru beli hari ini setelah klik link di email.
Kalau Anda hanya mengandalkan data dari satu platform (misalnya Meta Ads Manager), Anda akan mendapatkan angka ROI yang tidak lengkap atau bahkan menyesatkan.
5 Cara Menghitung ROI yang Lebih Akurat
Berikut beberapa langkah yang bisa Anda lakukan agar ROI iklan Anda benar-benar mencerminkan kinerja yang sesungguhnya:
1. Gunakan Multi Touch Attribution
Alih-alih mengandalkan satu titik data (last click), gunakan pendekatan multi touch attribution yang bisa melacak dan menghubungkan seluruh interaksi pelanggan dari awal sampai terjadi pembelian.
Ini mencakup klik pertama dari iklan, kunjungan ke website, interaksi media sosial, email yang dibuka, hingga transaksi final.
Tools seperti Google Analytics 4, HubSpot, atau Mixpanel menyediakan fitur analitik canggih yang memungkinkan Anda memahami bagaimana kombinasi channel berkontribusi terhadap konversi secara menyeluruh.
Hal penting yang perlu Anda tahu: tanpa multi-touch attribution, Anda berisiko mengabaikan channel yang secara tidak langsung sangat berperan, seperti konten edukasi atau email nurturing, yang sebenarnya membantu menciptakan trust sebelum pembelian terjadi.
Dengan memahami kontribusi masing-masing touchpoint, Anda bisa mengalokasikan anggaran iklan dengan lebih cerdas dan menghindari pemborosan pada channel yang hanya terlihat kuat di permukaan.
2. Hitung CAC vs LTV
Jangan hanya terpaku pada hasil penjualan dari satu kali transaksi. Penting bagi Anda untuk memahami dua metrik utama dalam e-commerce: Customer Acquisition Cost (CAC) dan Lifetime Value (LTV).
a. Customer Acquisition Cost (CAC)
CAC adalah biaya rata-rata yang Anda keluarkan untuk mendapatkan satu pelanggan baru.
Ini mencakup total biaya marketing dan iklan dibagi dengan jumlah pelanggan baru dalam periode tertentu.
Rumus CAC: Total Biaya Marketing / Jumlah Pelanggan Baru
b. Lifetime Value (LTV)
LTV adalah total nilai pendapatan yang dihasilkan oleh seorang pelanggan selama mereka berinteraksi atau bertransaksi dengan brand Anda.
Rumus LTV sederhana: Rata-rata Nilai Transaksi x Frekuensi Pembelian x Lama Hubungan Pelanggan
Contohnya, jika rata-rata pelanggan Anda belanja Rp200.000 sebanyak 3 kali dalam 1 tahun, dan biasanya bertahan selama 2 tahun, maka: LTV = 200.000 x 3 x 2 = Rp1.200.000.
Sekarang bandingkan dengan CAC. Jika biaya rata-rata untuk mendapatkan pelanggan tersebut adalah Rp400.000, maka rasio LTV:CAC Anda adalah 3:1.
Angka ini dianggap sehat karena Anda memperoleh tiga kali lipat nilai dari apa yang Anda keluarkan.
Idealnya, LTV sebaiknya minimal 3x lebih besar dari CAC. Kalau lebih kecil, berarti biaya Anda terlalu tinggi atau loyalitas pelanggan rendah—dan ini sinyal bahwa strategi pemasaran Anda perlu dievaluasi.
3. Perhatikan ROAS vs ROI
ROAS (Return on Ad Spend) hanya menghitung pendapatan yang dihasilkan langsung dari iklan, tanpa mempertimbangkan biaya operasional lain seperti ongkos produksi, biaya pengiriman, diskon, atau komisi marketplace.
Sementara itu, ROI (Return on Investment) memberikan gambaran yang lebih lengkap karena menghitung laba bersih setelah semua pengeluaran.
Ini penting karena ROAS yang tinggi belum tentu berarti bisnis Anda untung. Misalnya, jika Anda menjual produk dengan margin keuntungan hanya 20%, ROAS 3x mungkin terdengar bagus, tapi sebenarnya bisa berarti Anda hanya impas setelah dikurangi biaya-biaya lain.
Oleh karena itu, selalu bandingkan ROAS dengan struktur biaya dan margin keuntungan Anda.
Gunakan ROI sebagai indikator utama profitabilitas, dan jadikan ROAS sebagai pelengkap untuk mengevaluasi efisiensi iklan dalam menghasilkan pendapatan kotor.
4. Masukkan Biaya Lain ke Perhitungan
Selain biaya iklan, Anda juga perlu mempertimbangkan berbagai biaya tambahan yang seringkali tidak terlihat tapi sebenarnya berdampak besar terhadap profitabilitas:
a. Biaya Produksi Konten Iklan
Ini mencakup biaya untuk membuat materi visual dan video, jasa fotografer, desain grafis, editor, hingga biaya endorse jika menggunakan influencer.
Konten berkualitas memang penting, tapi kalau biayanya tidak dikontrol, bisa menggerus margin Anda secara signifikan.
b. Gaji Tim Marketing
Jangan lupakan upah atau fee untuk tim internal maupun freelancer yang membantu strategi dan eksekusi campaign. Ini termasuk manajemen ads, copywriting, social media management, dan analitik.
c. Biaya Tools Analitik dan Manajemen
Subscription tools seperti Meta Business Suite, TikTok Ads Manager, Google Analytics 4, CRM, atau dashboard pelaporan lainnya mungkin terlihat kecil per bulan, tapi jika dikumpulkan bisa jadi beban tetap yang harus masuk dalam perhitungan.
Mengabaikan biaya-biaya ini dapat membuat Anda menyimpulkan bahwa campaign Anda untung, padahal sebenarnya margin keuntungannya tipis bahkan bisa negatif.
Oleh karena itu, menghitung ROI harus dilakukan secara holistik dengan memasukkan semua variabel pengeluaran yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan iklan.
5. Segmentasikan ROI Berdasarkan Tujuan Campaign
Jangan semua iklan dipukul rata—artinya, Anda tidak bisa mengevaluasi semua campaign dengan standar yang sama, karena setiap jenis iklan punya tujuan dan metrik keberhasilan yang berbeda.
Misalnya, iklan awareness bertujuan memperkenalkan brand ke audiens baru, sehingga ROI jangka pendeknya mungkin rendah.
Tapi itu bukan berarti gagal, karena dampaknya baru terasa dalam bentuk peningkatan trafik organik, brand recall, atau engagement di masa depan.
Sementara itu, iklan retargeting menyasar orang yang sudah pernah berinteraksi dan biasanya memiliki ROI yang lebih tinggi karena niat beli mereka sudah terbentuk.
Oleh karena itu, penting untuk melakukan segmentasi evaluasi berdasarkan jenis campaign, seperti:
- Awareness campaign: Fokus pada reach, views, dan engagement.
- Consideration Campaign: Lihat klik, add to cart, dan waktu interaksi.
- Conversion Campaign: Evaluasi langsung dari sales dan ROI.
Dengan pendekatan ini, Anda bisa membuat keputusan yang lebih akurat—apakah sebuah iklan perlu ditingkatkan, diubah pendekatannya, atau dihentikan sama sekali.
Jika saat ini Anda merasa rugi pasang iklan di Meta atau TikTok, bisa jadi bukan platform-nya yang salah, tapi cara Anda menghitung hasilnya.
Maka pastikan Anda tidak asal hitung ya. Lakukan evaluasi secara cermat terlebih dahulu. Karena dengan memperhitungkan ROI secara lebih akurat dan menyeluruh, Anda bisa mengambil keputusan marketing yang lebih bijak dan hemat.
Ingin tahu lebih dalam soal kesalahan umum penghitungan budget e-commerce dan cara menghindarinya?
👉 Download White Paper Gratis: Why Most E-commerce Budgets Fail: Built for Traffic, Not for Trust di redcomm.co.id.