Review novel Sapaan Sang Giri yang saya tuliskan di blog ini sebenarnya jauh banget dari banyaknya informasi penting yang saya dapatkan ketika hadir di acara bedah buku novelnya di Dia.lo.gue, Kemang, Jakarta Selatan.
Namun saya akan mencoba menuliskan informasi tersebut, termasuk kesan yang saya dapatkan dari membaca novel Sapaan Sang Giri di tulisan kali ini.
Yuk, simak cerita saya tentang kisah perbudakan di Afrika Selatan yang ternyata melibatkan anak-anak bumi pertiwi.
Diskusi Novel Sapaan Sang Giri
Jadi pada hari Sabtu, 3 Agustus 2024, saya mendapatkan undangan dari Kabar Media Books, penerbit yang menerbitkan novel Sapaan Sang Giri karya Isna Marifa.
Saking exciting-nya, saya datang 1 jam sebelum acara dimulai. Selain karena pengin cuci mata lihat produk unik yang tersedia di Dia.lo.gue, saya juga ingin melihat secara langsung semua persiapan dan siapa saja yang menghadiri acara ini.
Ternyata ketika saya tiba, sudah banyak orang yang hadir memenuhi tempat acara. Ada dari media, pembaca novel Sapaan Sang Giri, orang dari agensi penulis, penerbit, dan masih banyak lagi.
Sambil duduk menyesap kopi dan menikmati makan siang bareng suami di outdoor belakang, saya menyimak percakapan orang-orang di sekitar saya. Banyak yang bilang, novel ini bagus banget dan wajib baca.
Hmm… ya saya semakin penasaran dong. Karena sejujurnya, saya memang belum membaca novel ini. Padahal saya sudah tahu lama lho mengenai novel ini, bahkan sejak diterbitkan oleh penerbit sebelumnya.
Dalam hati saya bertekad, “Saya harus membaca novel ini begitu saya sampai di rumah.”
Kisah Budak Jawa di Afrika Selatan
Acara bedah novel Sapaan Sang Giri dibuka dengan hadirnya tokoh Wulan dan Parto. Sejujurnya saya sangat penasaran dengan dialog mereka.
Sayangnya karena duduk di paling belakang, ditambah suara hujan yang cukup deras mengguyur atas, cukup sulit mendengar percakapan keduanya.
Namun pada intinya, adegan singkat yang dibawakan tokoh Wulan dan Parto menggambarkan sedikit cuplikan isi novel.
1. Kisah Parto
Hati Parto, lelaki Jawa yang dibawa ke Afrika Selatan sebagai budak, penuh dengan rasa sesal karena mengizinkan Wulan ikut bersamanya ke negeri yang jauh dan meninggalkan tanah leluhur mereka, tanah Jawa.
Keputusan untuk menyongsong harapan yang lebih baik di tanah yang jauh hanyalah harapan samar tak berujung. Keinginan untuk kembali pulang tak tahu bisa dilakukan kapan. Bahkan Parto akhirnya harus kehilangan Wulan.
2. Kisah Wulan dalam Novel Sapaan Sang Giri
Sementara Wulan, anak perempuan berusia 9 tahun yang belum mengerti apa-apa. Ikut bapak karena tak ingin saling berjauhan. Berjanji tidak bikin repot hingga ia tumbuh menjadi gadis yang nerimo, tunduk pada bapak, apa pun demi bapak.
Wulan pernah berharap ia bisa pulang ke tanah kelahirannya, bertemu Mbah Putri, Mbah Kung, Paklik, juga saudara lainnya. Lagi-lagi, ini hanyalah harapan semu.
Penantian panjang yang berujung pada ketidakberuntungan. Wulan mengalami pemerkosaan, hamil, dan menjalani hidup yang benar-benar di luar bayangan perempuan mana pun.
Pencarian Jejak Nusantara di Cape Town
Isna Marifa, penulis novel Sapaan Sang Giri terbitan Kabar Media, mengisahkan betapa tidak mudahnya mencari referensi selama proses penulisan novel ini.
Semua bermula ketika ia berkesempatan mengunjungi Cape Town sekitar tahun 2015 dan mampir ke Vergelegen Wine Estate Museum – Franschhoek.
“Tak banyak yang tahu sejarah perdagangan budak dari Nusantara ke Afrika Selatan di abad ke-18. Di tempat ini pula banyak pejuang dan Pangeran Nusantara diasingkan saat melawan VOC,” kata Isna Marifa.
Setelah perjalanan di tahun itu, penggalan cerita sejarah yang ia dapatkan ternyata menghantuinya.
Isna merasa malu karena banyak sejarah negaranya sendiri yang ia tak tahu. Di saat yang sama, ia juga makin penasaran dengan kejadian sejarah sebenarnya, kok bisa ada banyak orang Indonesia di Afrika Selatan.
Rangkaian Kebetulan & Riset
Akhirnya, Isna perlu bolak-balik antara Indonesia – Afrika Selatan untuk mengumpulkan referensi dan melakukan riset.
Selain itu, ia juga mendapatkan banyak buku, literatur, dan informasi dari internet. Semuanya ia kumpulkan, dan mulai menulis novel Sapaan Sang Giri di tahun 2017.
Di akhir tahun 2017, Isna bahkan kembali lagi ke Afrika Selatan dan berkunjung ke museum lagi untuk mencari tahu bagaimana sih bentuk rumah, dapur, dan perkebunan di abad ke-18.
Kenapa ini penting? Karena semua informasi ini berkaitan dengan setting tempat dan waktu di dalam novel.
Di museum Panel at the Vergelegen Wine Estate, Franschhoek, Afrika Selatan. Isna juga menemukan daftar nama-nama budak, seperti Mango dari Bali, Scipio dari Jawa, Titus dari Batavia dan masih banyak lagi.
Nama-nama itu sudah pasti bukan nama yang sebenarnya, seperti layaknya penamaan budak yang selama ini kita bisa lihat di film-film yang mengisahkan masa perbudakan.
Sapaan Sang Giri Bermula di Cape Town
Isna mengakui kalau masih banyak informasi dan data yang simpang siur dan belum lengkap dalam proses penulisan novel Sapaan Sang Giri.
Namun selama acara bedah novel ini, saya paling tertarik ketika Isna menjelaskan bagaimana prosesnya mengumpulkan data, referensi, dan informasi, selama proses penulisan novel.
Ya, semua bermula di Cape Town, di mana Isna menemukan fakta banyak orang Indonesia yang tumbuh turun temurun dengan mempertahankan tradisi Jawa. Ia juga menemukan fakta kalau orang Cape Malays berupaya pula mencari akar dan asal usul leluhur mereka.
The Age of Exploration Sapaan Sang Giri
Contohnya ketika Isna menunjukkan peta The Age of Exploration. Dari peta tersebut terlihat jelas bagaimana Cape Town menjadi tempat pengasingan bagi para “pembangkang” Nusantara, seperti:
- Syech Yusuf al Makassari yang merupakan ulama dan ahli tassawuf dari Kerajaan Gowa, Sulawesi Selatan. Ia adalah penasihat spiritual Raja Banten Sultan Ageng Tirtayasa, yang wafat di Afrika Selatan, tahun 1699.
- Umam Abdullah Kadi Abdus Salaam yang dikenal sebagai Kramat Tuan Guru, adalah seorang pangeran Kerajaan Tidore.
Lalu, bagaimana caranya orang Jawa menjadi budak di Cape Town, Afrika Selatan? Sejarah mencatat kalau awalnya terjadi pada era kolonialisme ketika Belanja masih menjajah Nusantara, termasuk pulau Jawa (sekitar abad 17 hingga abad 19).
Di masa itu, Belanja sangat aktif membawa rempah-rempah, hasil bumi, serta manusia sebagai komoditas perdagangan.
Banyak orang Jawa yang dibawa secara paksa ke Tanjung Harapan, Cape Town, oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) atau kompeni dagang Belanda, sebagai budak.
Mempertahankan Budaya dan Tradisi Sebagai Bentuk Perlawanan
Di Cape Town, para budak bekerja di berbagai sektor, mulai dari pertanian, konstruksi, tambang, hingga pelayan rumah tangga. Itulah sebabnya, pada daftar nama budak yang tersimpan di museum, terlihat beberapa nama daerah di Indonesia.
Kehidupan para budak di Cape Town tidaklah mudah. Kondisi kerja paksa dan perlakuan tidak manusiawi harus mereka hadapi. Belum lagi perlakuan diskriminasi rasial.
Salah satu bentuk perlawanan dari budak asal Nusantara, mereka berupaya keras mempertahankan identitas, tradisi, dan budaya tanah leluhur.
Cape Malays dan Warisan Budaya Jawa
Orang-orang Indonesia, terutama masyarakat Jawa yang menjadi budak di Cape Town akhirnya dikenal dengan nama Cape Malays. Mereka masih memeluk agama Islam, mempertahankan bahasa asal, makanan, dan kepercayaan lainnya yang berkaitan dengan tradisi.
Contohnya gunung yang dianggap sebagai sesuatu yang sakral. Maka begitu pun mereka menganggap gunung Table Mountain atau Gunung Meja yang ada di Afrika Selatan.
Selain itu, banyak hidangan tradisional Jawa yang masih berusaha mereka pertahankan, seperti sambal, kari, atau makanan yang berbahan dasar kelapa.
Oh ya, masyarakat Cape Malays di Cape Town juga membangun Masjid Auwal di Bo-Kaap. Ini menjadi masjid pertama yang dibangun di Afrika Selatan dan menjadi pusat komunitas muslim Cape Malays.
Review Novel Sapaan Sang Giri
Masih banyak lagi informasi seru dan catatan riset yang Isna lakukan dalam prosesnya menulis novel. Kapan-kapan saya akan cerita lagi di tulisan lainnya ya.
Sekarang saya ingin cerita kesan yang saya dapatkan setelah membaca novelnya sampai selesai. Berikut beberapa catatannya:
1. Prosa Liris yang Indah
Gaya penulisan di dalam novel ini sangat puitif yang dikombinasikan dengan gaya penceritaan yang meninggalkan kesan mendalam.
Prosa liris adalah gaya penulisan novel yang menggabungkan teknik penulisan naratif dengan puisi.
Selain itu, Isna juga cukup banyak memasukkan kosakata berbahasa Jawa, terutama saat mengungkapkan perasaan-perasaan Wulan. Pacapat dari sastra Jawa pun bertebaran memperkaya isi novel.
Pada 10 halaman pertama, cukup berat bagi saya untuk menikmati novel ini. Hal ini karena memang novel dengan gaya penulisan seperti yang Isna gunakan sangat jarang.
Selain itu, saya akhir-akhir ini lebih banyak membaca buku nonfiksi yang teoritis sehingga butuh adaptasi lagi untuk bisa menikmati novel dengan banyak puisi dan sanepo.
2. Bagian Tengah Novel yang Mengundang Penasaran
Karena kesulitan mendapatkan ritme yang pas saat membaca novel ini, saya terpaksa mencari akal.
Tadinya, saya ingin langsung membaca halaman belakang. Namun sepanjang pengalaman kalau hal ini yang saya lakukan maka esensi keseluruhan isi novel akan hilang.
Akhirnya secara acak saya membuka halaman manapun yang berada di pertengahan buku. Lha, kok malah menemukan scene Wulan hamil!
Gimana tuh ceritanya dari anak perempuan usia 9 tahun yang berbulan-bulan berada di atas kapal bersama ayahnya, kok sudah hamil? Nah, dari sinilah kemudian saya kembali ke halaman awal dan mulai membaca secara runut.
3. Kaya akan Pelajaran Hidup dan Sejarah
Untuk penyuka sejarah, novel ini tidak melulu bercerita layaknya buku sejarah semasa kita sekolah ya.
Semuanya berbalut dengan kisah tentang perjalanan hidup Wulan dan Parto, serta bagaimana mereka bertahan hidup dan saling menjaga.
Meski begitu banyak pelajaran hidup, dari quote-quote atau percakapan, yang masih relevan dengan masa sekarang.
Di saat yang sama, saya juga mendapatkan gambaran mengenai kehidupan di Cape Town pada abad 17-18 itu dari penggambaran setting yang detail, lengkap dengan setting waktu yang runut.
Menulis Novel Berdasarkan Sejarah
Isna Marifa, menurut saya, bisa menjadi sosok yang berani dan patut diteladani oleh para penulis lain, terutama para penulis dari generasi muda.
Novel tidak melulu tentang cinta ala-ala sinetron belaka. Ada banyak tema yang bisa diangkat menjadi novel yang menarik, termasuk base on sejarah di masa lalu.
Dari menulis review novel Sapaan Sang Giri ini, saya pribadi sedikit tertampar juga nih.
Tahun 2020 sempat terpikir menulis novel sembari melakukan riset tentang asal usul saya, yang katanya keturunan dayak.
Namun hingga hari ini novel tersebut tak kunjung saya tulis karena keterbatasan informasi. Ah, semoga setelah ini saya memulai kembali pencarian leluhur saya dan menuliskannya dalam bentuk novel. Doakan ya.