When The Tears Down

Home » Tips Menulis » When The Tears Down
Masih ingatkah kamu akan hari itu, Ri
Pagi hari ketika aku membuka mata, aku teringat kembali akan pertengkaran kita semalam.
Tapi aku rasa, aku wajar marah. Aku berhak marah. Kamu itu laki-lakiku. Kamu itu belahan jiwaku.
Bisa-bisanya kamu pergi dengannya?
Hari itu, aku melihatmu pergi bersamanya. Perempuan yang kamu bilang anak ibu kostmu.
Apa aku salah karena sudah marah padamu?
Apa aku tidak berhak marah?
Aku sangat yakin, aku tidak salah lihat!
Karena aku mengenalimu lebih dari yang kamu bayangkan.
Sosokmu, tertanam terlalu dalam di dalam hatiku, melekat erat dalam pikiranku, hingga aku tidak pernah bisa melihat siapa pun selain kamu. Dan hari itu, aku yakin, aku melihatmu bersama perempuan itu!
“Aku cuma nganterin Ely ke Gajah Mada, Nic! Itu pun karena ibu kost yang meminta. Dia lagi liburan di sini dan tidak ada anak yang menemaninya jalan!”
Aku masih mengingat dengan jelas kalimatmu itu dan dengan keras aku berteriak kalau apa yang kamu ucapkan itu hanyalah alasan yang dicari-cari. Sebuah kesempatan. Bodoh sekali kamu! Apa susahnya sih mengatakannya secara langsung padaku? Apa susahnya sebelum aku tahu, kamu lebih dulu bercerita padaku?

Kamu tahu,
sejak awal kamu masuk dalam hidupku. Kamu mengubah banyak hal dalam hidupku. Kamu memanjakanku. Kamu menuruti semua mauku. Tapi sebagai imbalannya, kamu menuntut pula janjiku sepenuh hati. Aku tidak boleh pergi dengan siapa pun tanpa seijinmu. Aku tidak boleh berboncengan dengan siapa pun selain kamu.

“Kamu tahu, Nic. Kamu satu-satunya perempuan dalam hatiku. Kamu itu punyaku. Mana boleh kamu memberikan perhatianmu pada orang lain. Sedikit pun tidak boleh, Nic!”
Jika kamu boleh, harusnya aku juga boleh meminta hal yang sama darimu.
Kamu itu satu-satunya laki-laki dalam hatiku. Kamu itu punyaku. Mana boleh kamu memberikan perhatianmu pada orang lain. Sedikit pun tidak boleh, Ri! Mana boleh kamu membonceng perempuan lain selain aku, dengan alasan apa pun!
Itu pertengkaran kita yang paling hebat sepanjang sejarah hubungan kita ya?
Aku ingat, aku memukul wajah tampanmu. Aku ingat, gara-gara tamparan itu, aku membuat bibirmu berdarah. Dan aku ingat, hari itu aku membuatmu menangis sambil memelukku.
“Ingat, Nic… Apa pun yang terjadi di dunia ini. Masalah apa pun yang terjadi di sekeliling kita, kamu harus selalu ingat kalau kamu adalah satu-satunya orang yang paling penting dalam hidupku. Aku tidak akan pernah menggantikanmu dengan apa pun dan dengan siapa pun. Bahkan dibandingkan dengan seluruh keluargaku, kamu adalah satu-satunya orang yang bisa membuatku ketakutan setengah mati kalau suatu saat aku bakal kehilanganmu.”
Lalu kita berbaikan. Seperti dua anak kecil yang habis bertengkar dan berbaikan, kita membeli es krim dan menikmati es krim sambil duduk berdampingan di teras rumah kostku.
Malam minggu datang.
Seperti biasanya, kamu selalu menjemputku ke kost untuk mengajakku jalan-jalan.
Tapi malam minggu kali ini berbeda. Kamu datang dengan sebuah tas ransel di punggung, dengan jaket tebal membalut tubuhmu, dan syal tebal meliliti lehermu. Kamu terlihat sangat tampan. Amat sangat tampan sampai-sampai aku terkagum-kagum karena tak pernah melihatmu dalam penampilan seperti itu.
“Ayo, ganti baju. Kita ke Bromo malam ini!”
“Hah? Kamu gila pasti. Aku bakal dibunuh Mbak Mis kalau keluar malam,” sahutku.
Tanpa disangka, kamu malah langsung masuk ke ruang tamu kost rumahku, berdiri di sana sambil berteriak-teriak memanggil Mbak Mis, dan tanpa bisa dibantah Mbak Mis satu patah kata pun, kamu meminta ijin untuk membawaku pergi malam itu dan berjanji mengembalikanku dalam keadaan utuh besok paginya.
Astaga, Ri!
Meski sudah bertahun-tahun bersamamu, selalu saja ada hal-hal mengejutkan yang kamu lakukan.
Dan malam itu sungguh luar biasa. Kita berboncengan ke Bromo. Hanya berdua. Tidak ada orang lain.
Hanya kita!
Kamu sengaja berputar ke Penanjakan lebih dahulu. Mati-matian kamu meyakinkanku kalau pemandangan di Penanjakan itu bagus. Matahari Terbit di sana tidak akan pernah tergantikan.
Aku yang menggigil kedinginan di belakangmu hanya bisa mengiyakan. Memangnya aku bisa apa?
Aku selalu kalah jika harus berhadapan dengan kekeraskepalaanmu.
Dan benar katamu, matahari terbit di Penanjakan tidak pernah tergantikan.
Matahari terindah yang pernah kulihat dengan kamu yang berdiri di belakangku, dan dengan kedua tanganmu memelukku.
Aku pikir, hanya itu saja yang ingin kau tunjukkan padaku.
Ternyata tidak!
Ketegangan berikutnya yang harus kulalui adalah duduk diboncenganmu dengan kedua tangan memeluk pinggangmu erat-erat. Jalan turun dari Penanjakan ke padang pasir terlalu curam, Ri. Aku takut sekali waktu itu. Setahu aku, untuk menuruni jalan curam itu, kita harus naik Jeep atau mobil yang memiliki gardan ganda. Karena perseneling tambahan akan mencegah mobil tergelincir masuk jurang.
Kita naik motor, Ri. Mana ada motor yang memiliki gardan ganda?
“Tenang, Nic. Aku tidak akan pernah membahayakanmu. Bagaimana mungkin aku menyakitimu atau mencelakakanmu? Aku bisa mati kalau aku sampai melakukan itu?”
Lagi-lagi, kalimatmu itu loh… selalu saja membuatku terbang ke awan… kalau memang manusia bisa terbang ke awan. Kamu selalu mampu menenangkanku. Tapi aku percaya padamu. Karena hingga detik itu, kamu memang tidak pernah sekali pun mencelakakanku. Kamu tidak pernah menyakitiku. Kamu tidak pernah membuatku merasa terabaikan. Kamu satu-satunya orang yang membuatku merasa diinginkan.
Setelah bersusah payah melintasi padang pasir, akhirnya kita berhasil mendaki tangga menuju kawah Bromo.
Kita duduk berdampingan menghadap ke sisi Timur, ke arah di mana Sunrise masih berlangsung. Tangan kirimu melingkar di bahuku. Gerak telapak tanganmu yang mengusap-usap bahuku, membuatku merasa nyaman. Kamu selalu tahu cara terbaik membuatku tak berkutik di dalam pelukanmu, Ri!
Lalu seorang penjual Edelweiss datang. Tanpa menawar, kamu membeli seikat Edelweiss. Begitu tanganmu menggenggam ikatan Edelweiss itu, kamu tertawa.
“Ini bunga paling konyol yang pernah kulihat, Nic. Cuma bunga begini aja bisa jadi bunga yang melambangkan cinta abadi. Aneh ya… Tapi ya sudah… kalau memang ini bisa melambangkan cinta sejati, maka kamu harus menerimanya dari tanganku. Aku tidak bisa menjanjikan apa pun, Nic. Aku tidak tahu masa depan seperti apa yang bisa kuberikan padamu. Hanya satu mungkin yang bisa kujanjikan ke kamu, sampai mati, kamu akan menjadi satu-satunya perempuan dalam hatiku.”
Kamu tahu, Ri…
Ada banyak hal yang kusesalkan hingga hari ini.
Kenapa aku tidak bisa merasa kalau hari itu adalah hari terakhir kamu berusaha menciptakan kenangan terindah untukku?
Kenapa aku tidak melihat pertanda apa pun?
Kenapa aku tidak bisa menduga sama sekali kalau kamu akan meninggalkanku?
Bodoh sekali aku kan, Ri!
Lalu kesibukanku di awal-awal kuliah mulai menyita waktuku.
Kamu juga mulai sibuk dengan persiapan balapan yang akan diadakan oleh tim-mu. Selain itu, kamu juga sedang mempersiapkan ujian di tempat kursus yang kamu ikuti.
Berhari-hari kita tidak bertemu. Hingga hari itu kamu menelponku.
“Besok G.I Jane main di 21. Kita nonton ya… Kamu pulang kampus jam berapa?”
Kamu tahu, saat-saat aku akan bertemu denganmu itu adalah hari yang sangat membahagiakanku. Jika berhadapan denganmu, aku selalu saja merasa jatuh cinta. Aneh kan? Memangnya ada ya jatuh cinta berkali-kali pada orang yang sama? Memangnya bisa seperti itu ya?
Tapi kenyataannya itulah yang terjadi.
Bersamamu, aku jatuh cinta berkali-kali. Setiap hari.
Sayangnya, besok itu tidak pernah datang.
Nonton bersama juga tidak pernah terjadi
Karena ketika pulang kuliah keesokan harinya, bukan kamu yang datang menjemputku
Hanya sebuah kabar yang memberitahuku kalau kamu koma di rumah sakit.
Kamu tahu, Ri…
Detik ketika kamu terbaring dengan mata terpejam dan mulut terkatup rapat
Aku ingin sekali membencimu saat itu juga.
Aku membencimu, Ri
Aku bersumpah, aku akan membencimu seumur hidupku.
Bisa-bisanya kamu menyakitiku dengan cara seperti ini
Bisa-bisanya kamu meninggalkanku dengan cara seluar biasa mengenaskan seperti ini
Bisa-bisanya kamu membuatku terlihat bagai orang tolol yang tidak tahu apa-apa
Bisa-bisanya aku yang mengaku sebagai kekasihmu selama bertahun-tahun, tidak tahu apa pun yang kamu lakukan dibelakangku!
Aku membencimu, Ri
Aku bersumpah akan membencimu seumur hidupku, apalagi kalau kamu sampai tidak pernah membuka matamu! Aku benar-benar membencimu hingga membisikkan namamu saja membuat hatiku terasa sangat sakit.
Tapi meski ribuan kata benci kuteriakkan dalam kebisuan
Aku tidak benar-benar bisa membencimu
Berbulan-bulan setelahnya, aku berusaha mengalihkan perhatianku pada apa pun yang bisa membuatku melupakanmu.
Aku berhenti membisikkan namamu
Aku berhenti mengingatmu
Aku berhenti mengingat janji yang tak pernah bisa kamu tepati
Tapi nyatanya,… aku tidak pernah berhenti memikirkanmu
Dan hidupku setelah kepergianmu berantakan!
Walaupun aku berusaha memungkiri kalau semua hal yang terjadi di dalam hidupku masih berhubungan denganmu… kenyataannya, aku tahu… gaungmu masih tertinggal di dalam hatiku.
Dan neraka ini kulalui selama bertahun-tahun!

Seminggu yang lalu…

Aku memimpikanmu.
Aneh kan?
Setelah bertahun-tahun memungkiri kamu yang menciptakan neraka di dalam hatiku
Ternyata ketika kamu datang dalam mimpiku, aku merindukanmu
Kamu tersenyum
Kamu membisikkan, “Hiduplah yang baik, Muka Kucing kesayanganku.”
Lalu aku melupakan mimpi itu!
Karena bagiku, bukankah kamu sudah lama mati?
Tapi ketika tadi pagi mendengar kabar tentangmu yang sudah benar-benar pergi
Kamu tahu, Ri… hatiku lega… sekaligus sakit
Lega karena penderitaanmu telah berakhir
Sakit karena harapanku untuk sekali lagi bertemu denganmu tak pernah terwujud.
Tidak apa, Ri.
Aku akan baik-baik saja
Aku akan hidup dengan baik
Kamu…. pergilah dengan tenang
Jangan pernah mengkhawatirkanku lagi…
Karena aku pun tidak akan pernah mengkhawatirkanmu lagi
Terima kasih, Ri, karena telah mencintaiku
Terima kasih karena menjadikanku satu-satunya perempuan dalam hidupmu
Terima kasih, karena kamu sudah mencintaiku hingga mati
Selamat jalan, Ri
Selamat jalan

26 September 2013

15 tahun sudah terlewati
Ikatan itu pun berakhir!
Dan aku tahu, kamu masih bisa membaca catatan hatiku ini
Bacalah… dan simpanlah di dalam tidur panjangmu
Sedang mengikuti pelatihan prakerja untuk meningkatkan skill

About the author

Hobi saya dalam hal kepenulisan menjadikan saya ingin selalu berkarya. Menciptakan ruang blog monicaanggen.com ini bukanlah sesuatu hal yang kebetulan gais. Sit, Enjoy, and Starting Read.. ^_^

2 pemikiran pada “When The Tears Down”

  1. Benar, Mas Octa. Aku masih merindukannya hingga hari ini. Dan itu rasanya sakit sekali. Tapi di saat yang sama, aku juga merasa lega, karena tahu kalau ia tidak lagi merasakan sakit. Ia tidak harus terbaring tak berdaya lebih lama lagi. 15 tahun rasanya sudah cukup baginya mengalami penderitaan itu

    Terima kasih sudah mampir ya, Mas 🙂

    Balas

Tinggalkan komentar